Setelah
hampir 1 bulan lamanya tidak ngayap kemana-mana termasuk naik gunung,
akhirnya hasrat untuk mendaki tidak bisa dibendung lagi. :P H-7 sebelum
lebaran, aku memutuskan meng-iya-kan ajakan teman yang bertemu dari Komunitas Pendaki Gunung Indonesia
Raya di FB untuk mengeskplor
Kuningan, Jawa Barat. Gunung Ceremai (sering salah kaprah disebut Ciremai,
termasuk aku ^,^) yang juga termasuk dalam perbatasan Kab. Majalengka ini dengan
ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut memiliki pesona tersendiri yang
menjadikannya favorit banyak pendaki untuk mendakinya lebih dari satu kali.
Sudah rindu berat dengan mendaki >,< |
Desi dan aku berangkat
dari Stasiun Pasar Senen jam 7.15 pagi menuju stasiun Cirebon Prujakan. Aku
sangat menikmati perjalanan 3 jam di dalam kereta api (1 jam pertama baca buku;
1 jam kedua tidur; 1 jam ketiga baca buku lagi). Aku dan Desi tidak satu
gerbong apalagi satu kursi, kami terpisah karena maklumlah pakai tiket sisa-sisaan yang harganya 2-3 kali lipat lebih mahal daripada biasanya.
>.<
Sesampainya di Cirebon
Prujakan, kami bertemu dengan Bang Erwin di mana ia sudah lebih dulu berangkat
dari Stasiun Pasar Senen jam 5 pagi. Harusnya kami bertiga dari Jakarta, namun
karena sudah kehabisan tiket kereta api jadilah kami terpisah. Huhuhu.
Dari Cirebon Prujakan,
kami bertiga naik kendaraan umum untuk sampai ke Terminal Cirendang, Kuningan;
1 kali angkutan umum dan 2 kali mobil elf. Satu teman lagi, yaitu Edy (inisiator
pendakian ke Ceremai) mengikuti kami dengan motor. Fyi, begitu cintanya
terhadap Ceremai, bersama kami ini Edy melakukan pendakian yang ke-6 kalinya ke
Ceremai. Wah, kalau Ceremai saja setia ia daki terus apalagi kalo ia mengejar
cinta cewek, pasti getol yah! Hahaha :P
Angkot pertama dari
depan Stasiun Cirebon Prujakan harganya Rp 4.000/orang sampai dengan Terminal
Cirebon, lalu berganti dengan mobil Elf
menuju terminal bayangan (aku namain sendiri karena gak tau namanya apa,
hehehe) dengan membayar Rp 5.000/orang. Terakhir dari terminal bayangan itu
kami berganti mobil Elf lagi untuk menuju Terminal Cirendang sebesar Rp 50.000
bertiga.
Sesampainya di Terminal
Cirendang sekitar jam 1 siang, kami dijemput oleh satu orang teman yang tinggal
di Kuningan, Alan, yang juga bergabung dengan pendakian ke Ceremai.
Bersama-sama kami menuju pos pendaftaran Palutungan dengan masing-masing
menggunakan motor. Alan dengan sangat baik memberikan tumpangan kepada kami
dari Cirendang ke Palutungan dengan “memberdayakan” adik dan teman-temannya.
Hehehe. Terima kasih banyak ya Alan dan teman-temannya :D
Tiket masuk ke Gunung
Ceremai terbilang mahal yakni sebesar Rp 50.000. Itu termasuk biaya camp,
asuransi, dan 1 kali makan. Sayangnya, di jalur Palutungan, kita tidak bisa
memilih untuk mendapatkan sertifikat seperti di jalur Apuy atau Linggarjati.
Full team: Edy, Diana, Desi, Alan, Erwin |
Pendakian Ceremai
Setelah makan siang dan
menunaikan ibadah sholat, sekitar jam 3 sore kami memulai pendakian. Dengan di
awali doa, dengan mantap kami melangkahkan kaki. Ini pertama kalinya
sepanjang hidup aku menghabiskan hari lebaran kedua dengan mendaki gunung. Rasa
gelisah di dalam benak dan rindu berjumpa dengan alam bebas membuat aku sangat
antusias menjajaki Gunung Ceremai.
Seperti halnya
gunung-gunung yang sebelumnya aku daki, pada awalnya pendakian disuguhi oleh hamparan
sawah luas. Di sini budidayanya adalah sayur sawi dan aku hampir tidak
mengenali bentuknya karena saking lebar-lebarnya daun tersebut *ngeles karena
gagal menjawab tanaman apa itu* T.T
Pohon Ceremai bukan sih? |
Selanjutnya, medan
berubah menjadi terjal ketika melewati mata air di kaki gunung Ceremai. Napas
mulai ngos-ngosan karena jantung yang berdegup kencang. Cuacanya cukup panas di Gunung
Ceremai tidak seperti gunung-gunung sebelumnya yang selalu dingin. Udara sejuk
dan segar tetap berhembus namun diiringi dengan keringat sebesar-besar biji
jagung yang terus mengucur di sekujur badan. Ini kali pertama aku naik gunung
tanpa menggunakan jaket.
Pos Cigowong |
Setelah berjalan hampir
3 jam kami sampai di pos Cigowong
bersamaan dengan waktu sholat maghrib. Ini merupakan pos pertama via Palutungan yang kami
(kecuali Edy) kira merupakan pos ke-4. Satu hal baru yang aku pelajari di
pendakian ini adalah jangan mudah percaya dengan kata-kata para pendaki. Mostly, mereka PHP a.k.a pemberi-harapan-palsu! Edy dengan
“manisnya” mengiyakan setiap tanda-tanda yang kami temui selama pendakian ke pos
Cigowong ini sebagai tanda pos-pos sehingga saat sampai di Cigowong kami kira
sudah sampai di pos ke-4. >,<” Kami tahu dari tukang warung bahwa
Cigowong merupakan pos pertama. T,T Semua mengerang sementara Edy hanya tertawa puas
sambil minta maaf. Puas banget yah! Huft!
Pos Cigowong sangatlah
luas. Banyak warung berdiri di sana, sehingga dijadikan tempat bersinggah bagi
para pendaki yang kelelahan sebelum menuju medan pendakian yang lebih berat
dari pada sebelumnya. Terdapat beberapa pendaki yang juga terlihat mendirikan
camp di sana. Fyi, pos Cigowong merupakan lokasi sumber air dan selanjutnya
tidak akan ada sumber air lagi sampai dengan di Goa Wallet (setelah pos 7). Jadi
kalian harus memastikan persediaan air kalian cukup sampai dengan ke puncak
Ceremai. Kami sempat kehabisan air di atas dan lumayan panik karena artinya
selain akan kehausan, kami pun tidak akan bisa masak karena masak juga butuh
air. T,T
Lalu kami kembali ke
zaman dahulu, melakukan barter dengan pendaki lain di mana mereka kehabisan
rokok. Hahaha. Seru juga yah kalau dipikir-pikir sekarang. Kami kehabisan air
dan kemudian saya menyadari value of
money doesn’t work there. Makhluk macam apa aku yang mengatakan kehabisan
air merupakan hal seru. Ya tapi justru jadi ada cerita kan? Dari pada semuanya
hanya lurus-lurus saja. :P
Setelah berleye-leye (read: sholat, tidur, makan
gorengan; gorengannya rasanya biasa saja tapi entah mengapa terasa nikmat
disaat lelah dan kedinginan *.*, minum susu, ngopi-ngopi :P) di pos Cigowong
kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak jam 20.41. Udaranya lumayan
dingin saat itu, mungkin karena kami hanya diam saja sehingga kami cukup
menggigil dan semuanya serentak memakai jaket. Tapi seperti yang saya sebut di
atas, Ceremai memiliki suhu yang aneh, udaranya dingin dan sejuk tapi juga
panas, sehingga saya akhirnya kembali berkeringat di pendakian malam tersebut
dan memutuskan melepas jaket karena benar-benar seperti di sauna. >,<
Kalian boleh coba sendiri yah :P
Kami mendaki sekitar 2
jam lamanya dengan medan yang banyak menghabiskan banyak tenaga karena
terus-menerus “dihajar” dengan tanjakan terjal yang medannya merupakan tanah
yang cukup basah dan licin. Desi yang paling banyak berhenti untuk sekedar
mengatur napas atau istirahat beberapa menit, sementara aku masih cukup kuat
dalam hal menanjak (tapi selalu merengek-rengek
waktu turun >,<). Pos ke-2 yaitu Kuta, pos ini sangat kecil dan tidak bisa untuk camping sehingga kami hanya melewatinya
saja.
Salah satu medan pendakian Ceremai |
Kami memutuskan untuk camp sesampainya di pos ke-3, Pangguyangan Badak. Sudah ada 2 tenda
di atas sana. Seperti biasa, para lelaki mulai aksi yaitu mendirikan dua tenda untuk 5 orang. Mereka
sibuk memasang-masang besi-besi sebagai tulang tenda, membuatnya berdiri,
memastikan tidak ada besi yang kusut, menancapkan pasak di setiap ujung tenda,
dan terakhir memasang flysheet di
atas dan di antara kedua tenda. Yang perempuan? As usual, kami tim hore saja sambil pegangin senter :P
![]() |
Pos Pangguyangan Badak, Ceremai |
Menuju Puncak Ceremai
Sesuai perjanjian yang telah disepakati secara mufakat dan kekeluargaan *kayak rapat RT-RW yah :P* pada saat makan malam, kami melanjutkan pendakian jam 2.30 dini hari.
Berbekal 1 tas carriel milik Alan yang isinya alat masak, 1 matras, makanan dan
minuman secukupnya kami dengan penuh keyakinan dapat mencapai puncak Ceremai
pada saat sunrise.
Karena tidak membawa
beban hidup yang berat apapun kecuali Alan *hohoho*, kami semua sangat
cepat mendaki meski medannya cukup terjal. Ya, pokoknya kamu jangan heran
dengan Ceremai karena gunung ini terkenal dengan pendakiannya yang curam dan terjal apalagi kalau kamu lewat Linggarjati, siap-siap “terpesona”. :P
Tanpa hambatan kami
melalui pos 4 - Arban dan pos 5 - Tanjakan Asoy selama 1,5 jam. Kami baru
beristirahat di sana bersama 2 orang pendaki yang sedang ngopi. Mereka (Fakhri dan temannya) kemudian melanjutkan pendakian
bersama kami. Pos selanjutnya adalah Pasanggrahan yang kami tempuh di 1 jam
selanjutnya.
Kami semua beriringan
mendaki dengan tempo mengobrol, bercanda, nyanyi-nyanyi covering'in lagu yang di stel bang Erwin, diam, dan begitu
seterusnya. Lalu cahaya dari langit sudah mulai masuk dari sela-sela
pohon-pohon pertanda sunrise sudah
siap menyapa bumi. Namun, kami tak kunjung sampai di Sanghyang Ropoh
(sepertinya ini adalah pertigaan tempat bertemunya jalur Palutungan dengan Apuy).
Sunrise nya dapet di perjalanan menuju Puncak Ceremai *,* |
Edy pun bilang, “tak
apa yah tak dapat sunrise karena
sepertinya tidak akan sampai di puncak tepat waktu”. Jujur sih, aku kecewa berat, tapi ya mau bagaimana lagi, kalau mendaki
bisa dengan metode naik-helikopter-sampai-puncak aku tidak perlu khawatir tidak
bertemu sunrise, lah ini cuma modal
kaki, sudah gitu kaki cewek lagi, gak ada apa-apanya dengan kaki cowok yang
setrooooong. T,T
15 menit yang
dijanjikan Fakhri untuk sampai di pertigaan Palutungan-Apuy dari Pasanggrahan
pun menyedihkan. Menyedihkan karena lagi-lagi kami kecuali Edy tentu saja
menjadi korban PHP pendaki lainnya. 15 menit (read: 2 jam) kemudian kami sampai
di pertigaan yang di maksud. Wow! Aku jadi meragukan kelulusan matematika para
pendaki ketika SD! Mereka berkilah, “ya kan untuk menyemangati teteh”. Duh, please ternyata meme tentang laki-laki
kurang memahami wanita itu betul yah. Besok-besok yuk para lelaki, kita adakan
konferensi untuk menyamakan “paramater penyemangat” supaya gak salah sasaran
lagi kayak gini. Deal?! *sambil nodongin palu* :P
Pendakian menuju Puncak Ceremai >.< |
Di pertigaan
Palutungan-Apuy sudah cukup terik, kami kepanasan warbiyasaaaah. Sambil masih ngomel
cantik kepada dua pendaki, Fakhri dan temannya, atas insiden 15 menit = 2 jam, aku, Bang Erwin, dan Alan kembali
dijanjikan oleh Fakhri bahwa kita akan sampai di Goa Walet dalam 30 menit.
Dengan menyamakan waktu di hp masing-masing *saking takut kena PHP lagi*, kami
kembali memegang janji tersebut. Oiya, untuk Desi, ia butuh perjuangan super
ekstra untuk “bergulat” dengan medan terjalnya Ceremai. Edy yang setia menemani
Desi *uhuk* mempunyai cukup kesabaran untuk terus menyemangati. Fyi, Desi
sempet nangis karena disuruh turun lagi sama Edy kalau memang tidak sanggup
sampai puncak. Duh, cowok! Di gunung aja masih bisa bikin nangis anak gadis
orang yah. ><
Goa Walet, Ceremai |
Untunglah kami bertiga
tidak jadi korban PHP lagi, sampai di Goa Walet sekitar 30 menitan dengan penuh
susah payah. Dengkulku sudah super lemas, sementara kaki rasanya sudah mau copot. Kalau saja ada yang
membuka jasa sewa kaki, aku pasti orang pertama yang akan sewa sebanyak 10 kaki.
Sudah seperti pesan gorengan saja. Hahaha.
Perjuangan kami tinggal
“satu tanjakan” lagi, yaitu puncak Ceremai. Hati sudah mencelos ketika melihat
medan di depan mata begitu mengerikan. Ingin rasanya nikah saja *loh* :P Dengan
menguatkan hati, tangan, dan terutama kaki-kaki rentan ini, aku melanjutkan
pendakian. Sungguh medan terberat, bebatuan dan kemiringan 45 derajat. Mendaki di
atas batu-batu merupakan pengalaman pertamaku. Duh, betul-betul mengalahkan
pendakian ke gunung Butak bulan lalu. Super berkesan banget deh Ceremai ini. Summit
terjal dan bebatuan merupakan perpaduan yang sukses buat jantung ini olahraga
ekstra. >.<
Daaaan… Yeay!!!!!! Sampai
lah aku di puncak Ceremai yang menyambut dengan angin yang supeeeer kenceng. Tanpa
ada satu pohon pun, kecuali tanaman-tanaman bogel di sisi kanan, angin di ketinggian
3.078 mdpl ini bebas kesana kemari. Dengan lemas aku duduk di salah satu
bebatuan sambil berpegangan kencang pada batu tersebut. Aku sedang menyatukan
keberanian untuk berdiri di puncak Ceremai dan berusaha membaur dengan angin
dan udara di sini.
Puncak Cereremai 3.078 mdpl |
Hah! Ceremai merupakan
pendakian terpanjangku dengan total pendakian hampir 13 jam yang berhasil aku
kalahkan meski dalam pendakian ini aku termasuk banyak mengeluh. Tapi aku tetap
bersyukur karena masih bisa mengalahkan rasa takut, emosi, dan lelah sehingga Tuhan
membalasnya dengan pemandangan super menakjubkan. Thanks God! ^.^
Formasi: Alan, Erwin, Diana, Temannya Fakhri, Fakhri |
Puncak Gunung Slamet mengintip mungil dibalik awan :* |
Awan-awan gembul itu yang selalu bikin aku kangen mendaki ^.^ |
Terima kasih para traveler
yang setia membaca ceritaku sampai sini. Keep traveling to explore yourself and
God’s creation. See you in the next tracesme! :*:*:*
Hey ngomongin sya yah 😒
BalasHapusHey mau banget di omongin?
HapusMantabb..mba. trus mendaki yaa
BalasHapusIya mas kurniawan. Semangat mendaki juga yah! Hehe
HapusKeren..semangat trus ya , salam lestari
BalasHapusMakasih kak Chika. Salam lestari juga :)
HapusHa ya satu kata,mantaaaaab
BalasHapusDua kata.. Terima kasiiih :)
Hapus