Grand Palace, Thailand |
Berbeda dengan blog-blog sebelumnya,
kali ini aku ingin mengajak teman-teman berjalan-jalan selama tiga hari ke
negara tetangga kita yaitu Thailand. Bersama 3 orang teman baru dan si empunya
tour, untuk pertama kalinya aku traveling ke tempat terjauh selama umur
hidupku. Sepanjang 3.090 km jauhnya dari Jakarta, dengan bahasa yang sama
sekali aku tidak mengerti.
Bukanlah sebuah keputusan sulit bagiku untuk
memutuskan ikut trip ini pada saat pertama kali membaca blog
www.travelearn.com. Bermodalkan bahasa pemesartu bangsa, yaitu bahasa inggris, rasanya akan aman-aman saja. Yah, awalnya itulah yang aku fikirkan. Namun
kenyataan selalu tidak semanis yang kau fikirkan. Ya bukan? :P
Cukup sulit berkomunikasi dengan warga
Thailand terutama pada saat menyetop taksi, berbelanja di pasar tradisional dan
di mall nya. Tak banyak dari mereka yang bisa berbahasa inggris. Tak jarang
pulang kami ditolak supir taksi. Yah?! Sedih yah, sopir taksi aja menolak aku
loh, wajar saja sampai sekarang aku masih men-single #eh >.<
Bandara
KLIA2 & Stesen Sentral, Malaysia
Perjalanan ke Thailand menggunakan
jalur udara dengan transit terlebih dahulu di Kuala Lumpur. Bandaranya masih
cukup sepi, luas, dan mewah. Perjalanan dari KLIA2 ke KLIA1 menggunakan kereta.
Keretanya pun sangat bagus dan terawat.
Jarak waktu transit cukup lama hampir
7 jam. Sehingga bersama Kak Teguh dan Teh Yati, kami sempat ke Stesen Sentral
untuk sarapan yang dibarengi makan siang. Perjalanan memakan waktu hampir 2-3
jam dengan menggunakan bus antar kota, mirip jika kita ke Bandung dari Jakarta.
Tiket bus ber-AC itu seharga 10 RM.
Stesen Sentral merupakan pusat dari
semua bus di Malaysia. Kamu bisa menemukan bus jurusan mana pun di sana. Untuk driver, ticketing, serta knek nya didominasi oleh orang India. Berbeda
dengan para driver bus di Jakarta,
mereka tidak mengizinkan adanya kelebihan penumpang alias tidak boleh ada
penumpang yang berdiri. Karena memang perjalanannya sendiri sudah sangat jauh
sehingga memang akan melelahkan jika berdiri selama waktu hampir 3 jam. Jadi bus hanya akan berangkat jika semua kursi
sudah penuh tanpa ada yang berdiri.
Di Stesen Senter kami bertiga makan di
rumah makan (lagi-lagi) India. Karena memang itu yang paling aman bagi aku dan
Teh Yati sebagai muslim. Kami makan nasi briani seharga 12 RM. Porsinya sangat
sangat sangat banyak. Nasinya menjulang tinggi dengan ayam pentung yang besar
dan telur bulat. Rasanya? Enak! Sesuai dengan lidah orang Indo meski untuk
bumbu tidak sekuat masakan kita. Hehehe.
![]() |
Kiri ke kanan: Penampakan dalam kereta, bus, Stesen Sentral, Bandara KLIA2 |
Don Meuang
International Airport, Bangkok
Pesawat kami mendarat di Bandara Don
Mueang 17.30. Sudah semangat turun dari pesawat namun hati langsung mencelos
ketika melihat antrian imigrasi. Sangat-sangat tidak tertolong keadaannya. Crowded!
Kami selesai antri jam 19.45. Wah pegel nya bukan main berdiri. Betul-betul
membuang waktu. Entah mengapa begitu banyak turis yang berkunjung terutama dari
China. Entah mereka saat itu sedang libur panjang.
Kak Lisa dan suaminya sudah lebih dulu
sampai di Bangkok. Kita berbeda penerbangan karena mereka terbang langsung dari
Batam sementara kami dari Jakarta. Maka itu kami baru bertemu di Stasiun Phaya
Thai. Jadi, trip ini berjumlah 5 orang yang termasuk tour guide nya Kak Teguh.
![]() |
Suasana antrian imigrasi di Bandara Don Meuang, Bangkok, Thailand |
Bus, Sky
Train & Taksi di Thailand
Bus di Thailand banyak yang sudah tua
penampakannya. Namun, emisi pembuangannya hampir tidak kelihatan. Sangat bersih
karena mereka tidak menggunakan bahan bakar solar seperti kopaja-kopaja di
Jakarta. Berjalan kaki lama di Thailand sangatlah nyaman karena udaranya yang
masih segar dan polusi dari kendaraan masih sangat sedikit.
Teknologi kereta di Thailand belum
secanggih di Singapore dan Malaysia, namun masih jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan Indonesia. Untuk membeli kartu masuk kereta kita harus menukarkan
sejumlah uang di mesin tiket yang dioperasikan sendiri.
Selain bus dan taksi, taksi merupakan
kendaraan umum yang paling diandalkan untuk kemana-mana. Tarifnya tidak terlalu
mahal namun yang memusingkan bagi turis kalau bertemu dengan driver yang tidak bisa berhasa Inggris. Driver di sana tak akan tega menolak
penumpang. Kami sering sekali ditolak oleh mereka dengan 2 alasan: tidak bisa
bahasa inggris dan kami berjumlah 5
orang.
![]() |
BTS Skytrain |
Malam hari
di Khaosan
Kami sampai di hostel di kawasan
Khaosan sekitar jam 22.00. Kawasan ini mirip dengan Kuta, Bali. Banyak bule-bule,
pub, dan makanan tradisional yang dijual di gerobak dorong. Gemerlap lampu
disko, bule-bule yang mabuk sambil berjoget-joget, serta musik-musik barat terdengar
keras dan saling mengadu di setiap pub. Malam itu jalanan full dengan para
turis hanya sedikit celah tersisa untuk berjalan.
Aku sempat mencoba salah satu makanan
khas Thailand yaitu Phad Thai yang mie-nya seperti kwetiau seharga 30 THB/porsi.
Untuk rasanya tidak jauh beda dengan yang kita sering makan di tukang nasi
goreng tiap malam di Jakarta karena bumbunya yang sama.
Kami makan malam di salah satu rumah
makan di ruko-ruko pinggiran Khaosan. Aku mencoba Tom Yam asli Thailand dengan
harga 100 THB. Well, lumayan juga rasanya. Meski jujur aku lebih suka tom yam
yang dijual di Indo sebab rasanya yang sudah disesuaikan dengan lidah kita.
![]() |
Khaosan Road, Phad Thai, Tom Yum Thailand |
Wisata
Grand Palace & Sleeping Buddha Temple
Dari Khaosan kami naik taksi menuju
Grand Palace dengan argo sebesar 47 THB. Di Grand Palace inilah kami kembali
kaget melihat turis yang membludak, sama dengan di antrian imigrasi.
Betul-betul bukan tempat wisata yang nyaman ketika terlalu banyak orang karena
jarak dari 1 temple ke temple lain terlalu berdekatan sehingga kami
berdesak-desakan untuk bisa mengambil foto. Sepertinya semua pemikiran turis
sama, yaitu ke Grand Palace pagi-pagi, alhasil di sana mirip pepes manusia.
Cuaca hari itu cukup aneh, sebentar
matahari begitu silau kemdian mendung, bahkan sempat gerimis kecil. Cuaca aneh
tersebut membuat pengunjung dibanjiri keringat. Komplek wisata ini cukup luas
tempatnya namun tetap tidak seimbang dengan jumlah turis yang berknjung. Kami
berjalan-jalan sekitar 2 jam lamanya. Kemudian keluar wilayah Grand Palace
untuk berjalan kaki menuju Sleeping Buddha Temple atau Patung Budha Tidur
Raksasa.
![]() |
Grand Palace, Bangkok, Thailand |
![]() |
Sleeping Buddha Temple |
Di hari ke-2 ini aku dan Teh Yati agak
kesulitan mendapatkan makanan halal. Makanan yang dijual di pinggiran jalan
wilayah Grand Palace mengandung minyak babi. Jadi kalian harus super hati-hati
dalam memilah-milah makanan selama di Thailand yah. Bahkan Mc Donald’s,
Starbucks, dan beberapa resto internasional yang ada di Bandara Don Meuang saja
semua mengandung minyak babi. Makanan yang paling aman bagi aku dan Teh Yati
adalah buah. >.<
![]() |
Jajanan dan makanan pinggir jalan yang non-halal |
Pusat Perbelanjaan
Chatuchak
Di pasar ini terdapat banyak barang
dengan harga murah meriah. Uniknya, antara satu toko dengan toko lainnya tidak
memiliki model barang yang sama. Aku hampir tidak menemukan model pakaian di
toko yang berbeda-beda. Jadi kita sebagai wanita yang suka membandingkan harga
untuk mendapatkan harga termurah tidak bisa melakukannya di pasar ini. Jika kalian
suka dengan barang tersebut langsung beli di toko tersebut atau jika kalian
melewatinya maka kesempatannya pun akan terlewat. Karena belum tentu kan kalian
bisa ingat posisi tokonya karena mengingat pasar ini sangatlah padat. Selain pakaian,
di sini juga menjual segala macam oleh-oleh khas Thailand, pakaian adat khas
Thailand, pajangan, dll. Aku ingin sekali membelu salah satu pakaian adat khas
Thailand namun karena coraknya yang hampir sama dengan Kalimantan mengurungkan
niatku. Aku tak bisa membedakan mana yang milik kita dengan yang milik
Thailand. T_T Daripada salah beli lebih baik tak usah.
Pasar Chatuchak, Thailand |
Cabaret
Show Ladyboy
Malam harinya kami menonton Cabaret
Show Ladyboy “Banci”. Untuk sampai ke lokasi Cabaret ini kami naik taksi.
Awalnya kami semua senang karena driver
nya bisa Bahasa Inggris. Namun, di sinilah ternyata kami bertemu dengan driver konyol yang mempermainkan turis. Driver taksi ini sengaja memutar-mutar
perjalanan kami padahal dia sudah berbicara lewat telepon dengan petugas
Cabaret untuk petunjuk jalan menuju lokasi.
Kami kesal karena driver itu malah menyalahkan kami dengan berkata bahwa kami yang
memaksanya untuk mengikuti jalan yang diarahkan Google Maps dari handphone ku. Padahal dengan jelas kamis udah
bilang bahwa Google Maps itu tidak
betul-betul menunjukkan lokasi Cabaret nya maka dia harus tetap mengikuti
instruksi yang diberikan petugas Cabaret lewat telepon. Belum lagi cara membawa
mobilnya yang aneh dimana dia memainkan kopling dan rem bersamaan dengan terus
lampu sein. Aku yakin betul itu cara curang dia untuk membuat argo kami mahal
namun driver tersebut berkilah bahwa
itu yang dia dapatkan dari sekolah mengemudi.
Setelah hampir 1 jam diputar-putar
oleh driver tak sopan itu ditambah
gaya menyetir yang menggangu kami, akhirnya kami sampai juga di Cabaret Show
sekitar jam 21.30. Karena kami semua sudah kesal maka kami memutuskan tidak
memberi tips untuk dia, ditambah lagi argo taksi sudah mendakati angka 200 THB.
Driver itu berulang-ulang mengatakan
maaf karena merasa tidak enak melihat wajah kami semua yang kesal.
Sambil membawa belanjaan yang berat
kami berlari-lari menuju ruangan theater. Pertunjukan sudah setengah
berlangsung. Aku terkagum-kagum dengan ladyboy
yang show di panggung. Mereka menari-nari
diatas panggung dengan gemulai bak wanita sesungguhnya. Setelah selesai show mereka
menunggu para penonton di aula yang menuju pintu keluar. Disitu, mereka “memaksa”
para penonton untuk berfoto bersama. Aku pernah mendengar hal ini sebelumnya bahwa
ladyboy akan mengajak penonton
berfoto bersama lalu kemudian meminta sejumlah uang sebagai gantinya. Padahal kan
mereka yang ajak kan? Aku sudah didekati oleh salah satu ladyboy, karena aku takut begitu melihat mereka secara dekat maka
aku langsung ngacir menghindari mereka. Sayangnya, Kak Lisa dan suaminya kurang
lihai menghindari sehingga menjadi korban foto dengan dua ladyboy. 1000 THB pun melayang. >.<
![]() |
Cabaret Show, Ladyboy Thailand |
Berbarengan dengan kejadian. Teh Yati
baru menyadari bahwa kantong plastik belanjaan yang berisi oleh-oleh tidak lagi
bersamanya. Kemungkinan terbesar tertinggal di taksi saat menuju Cabaret. Rasanya
sudah hopeless ketika kita kehilangan
barang di negara orang, tidak banyak yang bisa dilakukan. Teh Yati dengan wajah
penuh ikhlas dan senyum kecil berkata, “Ya sudahlah, mungkin emmang aku nggak
boleh beli oleh-oleh seperti kata suamiku”. Sementara aku dan Kak Lisa masih
belum rela. Kami mah memang begitu orangnya. Huhuhu.
Malam hari
di Ratchaprapop
Sebelum masuk ke hostel tempat kami
menginap di malam ke-2, kami makan malam terlebih dahulu. Perutku sudah perih
karena asam lambung naik dan maagh yang kumat karena telat makan sudah cukup
membuatku frustasi saat itu. Syukurlah kami menemukan tempat makan halal. Di sini
aku menemukan makan khas Thailand yang wajib kalian coba saat berkunjung ke
sini mango sticky rice. Nasi di sini
bukanlah nasi menurut kami tapi ketan putih yang rasanya sendiri sudah sangat
manis lalu disirami susu putih yang disajikan bersama buah mangga yang sudah
dipotong-potong. Well, rasanya endesssss banget. Aku yang memang penggila
makanan manis langsung jatuh cinta. Tapi tidak untuk Kak Lisa yang kurang suka
manis, sehingga makanannya aku yang habisin. Hehehe. untuk harganya, resto ini
menghargai 130 THB. Lebih mahal dari pada yang aku beli di mall keesokan harinya
yang hanya 100 THB. Tapi memang untuk rasanya lebih enak yang di resto itu.
![]() |
Mango Sticky Rice & Fish Ball With Noodle |
Pratunam Market
Berbeda dengan Pasar Chatuchak, Pasar
Pratunam menjual barang-barang murah dalam pembelian jumlah banyak. Ketika kamu
beli 3,6,12 pcs pakaian akan jauh lebih murah ketimbang kamu hanya beli 1 pc. Maka
ini sangat cocok untuk reseller. Aku pun
menemukan beberapa orang Indonesia yang membeli dalam jumlah banyak untuk
dijual kembali di sini. Model-model pakaian di sana sama dengan yang dijual di
online shop tapi dengan harga yang 50% lebih murah. Ya tentu saja dijual mahal
di Jakarta karena barang tersebut tentu harus dikenai bea cukai jika di impor
ke Indonesia.
![]() |
Pasar Pratunam, Thailand |
Oleh-oleh khas
Thailand
Kartu pos Thailand = 10THB
Gantungan kunci = 100THB / 6pcs
Magnet kulkas bentuk gajah = 100THB /
3pcs kecil, 40THB / 1pc besar
Kaos = 100 THB / 1 potong
Nestea rasa milk tea = 90 THB / 1
kantong / 13pcs >> Thai Tea yang wajib kalian beli :D
Permen rasa pandan dan mangga = 34 THB
/ 1 kantong
Manggo dried = 42 THB
Kaca bulat dua sisi = 100 THB / 3pcs
Pajangan gambar alam Thailand terbuat
dari kain kanvas ukuran 100cm x 35cm = 100 THB
![]() |
Kiri atas: Kendaraan Thailand, Tuk-tuk |
Kanan ke kiri: Suami Kak Lisa, Kak Lisa, Diana, Teh Yati, Kak Teguh |
Daaaaaan itulah ceritaku yang pertama kali melangkahkan kaki ke luar
negeri tercinta ini. Pepatah yang berbunyi “rumput tetangga selalu lebih hijau
dari pada rumput di halaman rumah sendiri” memang terdengar klasik di telinga
kita. Kemajuan teknologi, budaya, bahasa, dll membuat kita selalu ingin tahu
lebih jauh tentang negara orang yang kemudian berujung dengan membandingkan
dengan apa yang kita miliki di sini. Namun satu hal yang aku selalu percaya
bahwa semewah-mewah dan semaju-majunya kita hidup di (tempat) negara orang, tempat
ternyaman selalulah rumah sendiri. Bukan begitu? :D
Terima kasih traveler. Keep traveling to explore yourself and God’s
creation. See you in the next tracesme! :D