Banyak cara bagi kita untuk menyambut
hari kemerdekaaan negara kita. Umumnya, masyarakat merayakan 17 Agustusan
dengan berbagai macam permainan tradisional; lomba makan kerupuk, memasukkan
jarum ke botol, joget jeruk, balap karung, tangkap belut, dll; lomba tari
tradisional modern atau dance, dan syukuran. Namun semakin berkembangnya negara
kita, anak-anak muda pun semakin kreatif dalam menyambut hari kemenangan negara
kita. Salah satunya dengan naik gunung dan mengibarkan bendera merah putih di
puncak atau melakukan kegiatan bakti sosial atau lebih dikenal dengan sebutan
baksos. Yang kedua yang kali ini aku lakukan.
Gerbang menuju Pedalaman Suku Baduy |
“Besok lu kemana? Ada acara gak? Ikut kampus
gw yuk baksos di Baduy”, celoteh cewek cerewet dari ujung line.
“Gak ada acara sih. Baduy di mana?”
“Banten……..”
Begitulah percakapan kami sampai pada
akhirnya berujung pada penjemputan dari driver g*jek dan aku pun tiba di depan
kampus USNI, Gancit 25 menit kemudian. Penculikan yang sungguh tidak romantis
banget yah ><
Sesampainya aku di sana, rombongan 12 orang pun langsung berangkat menggunakan mini bus. Bus terasa begitu dingin
Menjelang jam 7 pagi kami semua turun
dari bus untuk sarapan. Di pintu masuk Baduy Luar ini terdapat banyak warung
makan, bahkan sudah mini market bermerk Alf*m*rt. Sekitar jam 7.30 kami
melangkahkan kaki menuju Baduy Dalam bersama warga asli Baduy atau disebut jugaorang
Kanekes. Mereka berjumlah 7 orang dengan ciri khas ikat kepala kain berwarna
putih dan berjalan tanpa alas kaki. Juga pakaian mereka yang hanya berwarna
putih dan hitam. “Memang hanya warna ini yang dibolehkan”, begitu jawab Kang
Sapri ketika ditanya mengapa mereka tak seragam pakaiannya.
Fyi, pakaian yang
mereka kenakan merupakan hasil tangan mereka sendiri yaitu dengan tenun. Untuk bertahan
hidup, ibu-ibu bahkan anak perempuan berumur 10 tahun menenun kain menjadi
selendang. Mereka juga turut membuat pernak-pernik seperti gelang, gantungan
kunci, alat penghisap rokok yang semuanya dibuat dari alam seperti jeramian dan
kulit buah-buahan.
![]() |
Wisata alam Suku Baduy, Banten |
Yak, kembali ke perjalanan dari luar
menuju dalam Baduy. Perjalanan ini menghabiskan waktu sekitar 4 jam untuk
orang-orang normal seperti kami, sementara bagi suku Baduy asli yang super
kuat-kuat hanya membutuhkan 1,5 jam saja. T_T. Padahal mereka membawa begitu
banyak sembako-sembako yang dibawa oleh mahasiswa-mahasiswa perwakilan USNI. Ada
beras, mie instan, tepung, dll.
Kami juga sering istirahat
karena cuaca yang begitu terik membuat napas tersengal-sengal. Bagi beberapa
teman dan aku yang sudah sering naik gunung *ecieee* medan menuju Baduy Dalam
sebetulnya tidaklah begitu sulit. Bonus jalan landainya memang hanya sedikit
karena didominasi oleh tanjakan, namun tanjakannya sebetulnya masih normal, ya
lagi-lagi itu untuk kami yang sudah terbiasa hiking tidak untuk yang belum sama
sekali pernah ya **colek Ajeng**. :P
Kaki tetap gemetar hebat, pangkal paha
lelah menopang badan, napas sesak, jantung berdegup kencang, sementara keringat
sebesar-besar biji jagung terus menerus mengocor di seluruh badan. Rasanya ingin
menyerah saja hati ini sudah lelah. Entah berapa banyak kalori tubuh yang
berhasil dibakar dalam perjalanan
panjang ini. Hahaha. Serasa sepanjaaaaang apaaa yaa. :P
![]() |
Wisata alam, Suku Baduy, Banten |
Kami juga sempat disuguhkan buah
kelapa asli Baduy. Rasanya nggak ada bedanya kok dengan kelapa yang lain. Yang beda
hanyalah tempat dan dengan siapa kamu menikmatinya *aih* Kami menyeruput air
kelapa langsung dari batok kelapanya. Lalu untuk memakan bagian dalam kelapanya
menggunakan kulit kelapa itu sendiri yang sudah di desain sebagus mungkin
menjadi sendok berkat keahlian tangan para suku Baduy tersebut. Hehehe.
Perjalanan kami melewati beberapa
desa dengan tujuan ke Desa Cibeo. Baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, rumah mereka yang mirip-mirip rumah
panggung Minang ini masih terbuat dari kayu-kayu. Namun tetap terdapat
perbedaan yang mendasari mengapa ada sebutan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Selama
berjalan di perkampungan Baduy Luar, kalian akan mendapati jalan setapak yang
memisahkan sisi kanan dan kiri rumah atau di hutannya sudah menggunakan
batu-batu yang disusun rapi seperti paving
block jika di Jakarta. Selain itu bangunan rumah-rumah kayu dan pagar
mereka terlihat sudah menggunakan paku. Dua hal kasat mata ini yang paling
dapat kami temukan.
Selain melewati perkampungan dan
hutan, kami juga beberapa kali menyebrangi sungai meggunakan jembatan tinggi dan
panjang yang terbuat dari bambu. Jembatan ini merupakan pemisah antara satu
desa dengan desa lainnya. Awalnya, melihat jembatan yang tinggi itu, aku tidak
punya perasaan apapun. Mungkin karena sibuk jeprat jepret dengan kamera baru
*eeehhh* hahaha. Tapi ketika sudah menyebrang setengah jembatan, hati mencelos,
air muka sudah mulai berubah, mata diusahakan tidak melihat ke bawah sungai
hanya sampai sebatas bambu guna membantu kaki dalam memilih langkah. Kenapa begitu?
Ya, karena jembatannya goyang tau! Gimana nggak mau goyang, karena ditengahnya
tidak ada bambu yang dipasang ke sungai sebagai kaki-kakinya. Huhuhuhu. Aku deg-degan
sambil nyerocos panik dan jujur saja hampir setengah lari demi ingin buru-buru
sampai di ujung jembatan.
Sungai perbatasan antar desa |
Jembatan kedua atau ketiga merupakan
batas area Baduy Luar dan Dalam. Itu pertanda bahwa peraturan no electronics allowed pun diberlakukan.
Suku Baduy Dalam masih memegang teguh peraturan leluhur kita sehingga entah
belum atau tidak sama sekali bisa menerima adanya perubahan yang bersifat
modernisasi. Mereka betul-betul masih menyatu dan bergantung pada alam.
Hal yang cukup menyentuh perasaan dan
pikiran aku *ehem* adalah ketika kami mengobrol tentang pernikahan. Suku Baduy
tidak mengizinkan perceraian. Mereka berpegang pada prinsip menikah sekali,
menikah sekali, dan mati sekali. Lain hal jika pada perjalanan hidup mereka
ternyata pasangan mereka meninggal, maka pernikahan kedua diperbolehkan. Duuuuuhhh
romantis banget kan. Jadi sehidup semati bersama pasangan seperti di happy ending fairy tale betul-betul ada
di sana. Baper sekali kau jadi jomblo hah! >.<
Suku Baduy :* |
Fyi (lagi), warga
asli suku Baduy ganteng-ganteng dan cantik-cantik loh parasnya. Kecantikan mereka
betul-betul alami. Mungkin hal ini juga karena mereka tidak meggunakan bahan
kimia sama sekali. Mereka mandi, mencuci baju serta piring hanya menggunakan
air sungai. Dan kerennya lagi mereka tidak memiliki masalah dengan bau badan
loh, yah kecuali kalo habis berpanas-panasan setelah menempuh perjalanan jauh
ya. Hehehe. Maka dari itu tak heran jika mereka bisa hidup sampai dengan umur
126 tahun loh. Di rombongan kami pun terdapat bapak tua yang sudah berumur 60
tahun tapi wajahnya yang masih terlihat muda serta badannya yang kuat menuruku
lebih cocok berumur 35-40an. Betul-betul natural and fresh! :)
Foto bersama sebelum setelah itu no electronic allowed |
Nah tapi sayang amat disayang nih,
karena mereka masih berpegang teguh pada peraturan yang dibuat leluhur
menjadikan mereka tidak bisa mencicipi bangku sekolah. Pendidikan formal
dianggap berlawanan dengan adat-istadat mereka. Seperti yang sebelumnya aku
sebut bahwa anak perempuan berumur 10 tahun saja hanya menenun saja kegiatannya,
sementara anak laki-laki membantu di luar. Ya, selalu ada plus minus di dalam
hidup ini kan?
Tapi jangan salah sangka dulu. Meski tidak
sekolah dan mungkin juga tak bisa baca tulis, mereka sudah sering main ke Jakarta
loh! Jalan-jalan ke Mal Taman Anggrek saja mereka sudah cicipi. Hehehe.
Bagaimana cara sampai di sana? Yap, hanya dengan berjalan kaki! Dan karena
mereka sudah sangat terkenal sehingga mereka punya banyak kenalan di Jakarta. Mereka
beristirahat di rumah-rumah teman-teman mereka. Seru kan? Jadi jika suatu saat
kalian berkunjung ke Suku Baduy jangan enggan meninggalkan alamat dan nomor
telepon karena mereka akan senang sekali mengunjungi kita. :D
Sesampainya di kampung mereka, kami
beristirahat di rumah Kang Sapri. Aku sempat main-main di sungai yang airnya
jernih sehingga dasar sungai bisa terlihat jelas. Sayangnya karena sudah tidak
boleh menggunakan elektronik, aku pun tak dapat mengabadikan momen itu. :(
Tenaga yang sudah habis terkuras
karena cuaca yang begitu panas membuat kami semua kelelahan. Beralaskan tikar
yang terbuat dari bambu rasanya sudah cukup membuat kami tidur nyenyak serasa
di hotel bintang lima. :D
Sekitar 1 jam kemudian, kami yang tertidur
dibangunkan untuk makan siang. Melihat nasi putih di dalam bakul kayu, ikan
asin dan mie goreng yang banyak dan tinggi menjulang di atas penggorengan
membuat mata ini berbinar-binar. Mungkin mereka merebus sampai 20 mie instan
karena itu betul-betul banyak.
Dengan lahap kami menyantap makan
siang kami. Dan tak disangka-sangka, ternyata Kang Sapri and the genk memiliki
porsi makan yang banyak. Mereka makan 3-4 kali lebih banyak dari pada kami. Wah!
Hebat! Ya ini sesuai dengan kenyataan bahwa mereka berjalan tanpa alas kaki dan
memikul barang-barang yang banyak di pundak mereka. Tenaga yang keluar banyak
sudah sepantasnya dibayar dengan asupan makan yang banyak juga bukan? :)
Selesai makan siang, entah mengapa
rasa ngantuk malah semakin besar. Kami semua tertidur lagi. Berbaris seperti
ikan pepes kami menyelam ke mimpi masing-masing. Daniel yang sudah duluan ke
alam mimpi terlihat sangat asyik karena suara mendengkurnya yang hebat cukup
menganggu aku beberapa saat yang tidur di sampingnya. Hahaha.
Kami baru betul-betul bangun sekitar
jam 4 sore. Karena memang tidak ada rencana untuk menginap karena esok harinya
masih kerja dan kuliah, kami pun segera bergegas untuk pulang. Untungnya perjalanan
pulang kami lebih cepat hanya sekita 1,5 jam. Ini karena kami tidak melalui
jalur yang sama saat berangkat. Jalur pulang hanya melewati dua desa. Saat ditanya
mengapa berangkat harus berjalan sejauh 4 jam (versi kami), salah satu dari
mereka menjawab karena jalur berangkatlah yang merupakan jalur wisata karena melintasi
enam desa jika tak salah ingat.
Bahkan Bapak Jokowi saja yang ingin
membawa pasukan 10.000 orang untuk berkunjung ke Baduy Dalam saja masih dalam
proses nego dengan warga setempat
dikarenakan mereka keberatan menerima tamu sebanyak itu. Selain itu mereka juga
keberatan karena bapak Jokowi meminta untuk lewat jalur pulang kami sebagai
jalur pergi dan pulang mereka di mana itu bertentangan dengan peraturan yang
ada.
Dirgahayu Indonesia! |
Baiklah teman-teman itulah pengalaman
baruku. Bukan hanya wisata alam, aku pun belajar untuk lebih mencintai budaya
sendiri. Aku begitu terkagum dengan adat-istiadat yang sudah dibuat oleh para
leluhur kita. Lebih kagum lagi bahwa masih ada sekelompok orang/suku diantara jutaan
ribu warga negara ini yang masih mempertahankan hal itu. Meski harus hidup
terisolasi dari dunia luar namun mereka tetap bisa hidup di zaman modern ini. Tidak
lain dan tidak bukan yaitu untuk tetap berada di dalam garis dan menjaga apa
yang sudah diberikan oleh nenek moyang kita. Selamat ulang tahun negaraku! Dirgahayu-71
Indonesiaku!
See you in the next tracesme! Keep spread love and fighting! :D
Terimakasih, Diana.
BalasHapusSudah menjadi bagian dari kami, Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) dalam keberhasilan program Bakti Sosial & Silaturahmi USNI dengan Warga Suku Baduy, Banten.
Jangan kapok kapok,,,
Yuk.. Daki
sama-sama. terimakasih juga sudah mengajak saya utk berbagi pengalaman seru di Baduy. Yuk atuh bapak daniel kita kapan-kapan mendaki gunung. Kita ajakin inces jg hehehe...
HapusBoleh minta nomer telp org baduy yg bisa di hubungi ga
BalasHapus